Wednesday, November 28, 2018

Nenek Penunggu


     Di hari yang cerah itu, tak kusangka akan kudapat sebuah pengalaman yang tak bisa aku lupakan. Sebuah pengalaman yang mengingatkanku akan kelalaianku yang membuatku hampir meregang nyawa. Terdengar dramatis, tapi memang begitu kenyataannya. Akan kuceritakan sedikit tentang hari itu.
      Di hari itu, aku bertemu dengan seorang teman, hendak menemaninya until foto sesi di hutan. Bukan hutan yang seram, hutan di salah satu universitas besar di Depok. Aku datang menemuinya dengan kondisi hati gundah dan kesal. Kedua orang tuaku bertengkar lagi. Aku pun lebih memilih keluar dari rumah, daripada terus mendengar argumen tanpa henti.
     Aku dan temanku bertemu di depan stasiun dan kami berjalan ke tempat Ia ingin mengambil foto. Aku merasa, ada hawa aneh sesaat begitu kakiku mulai menapak masuk ke dalam hutan tersebut. Sekilas terlihat banyak bayang-bayang samar yang entah seperti apa rupanya dan entah darimana dunia asalnya. Hal tersebut tak aku gubris, toh, dirumahku sendiri juga banyak yang seperti itu.
     Selama foto sesi, aku hanya memperhatikan, sembari sesekali mengobrol dengan temanku dan fotografernya. Pikiranku kosong. Bodoh, memang. Masuk ke tempat berpenunggu banyak dengan pikiran kosong dan suasana hati yang buruk. Aku lengah, dan itulah kesalahanku.
     Lamunanku buyar ketika handphone ku berdering. Mama menelpon. Dengan malas, aku angkat. Langsung disambut celotehan mama yang hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Singkat cerita, mama bilang kalau mama akan menjemput. Ya sudah, aku tunggu. Kalaupun mama tak jemput, aku juga tidak peduli. Aku masih bisa pulang sendiri.
      Aku kembali melamun, sembari menunggu mama. Temanku masih berkutat menggerakan badannya sedemikian rupa, dan sang fotografer masih berkutat dengan shutter kamera. Hawa terasa semakin aneh, tetap tidak aku gubris. Mungkin hanya berniat jahil, menggangguku dengan hawa aneh yang dia bawa. Semakin ku diamkan semakin terasa, tapi aku tetap tidak beranjak, tidak juga mengusir.
     Mama datang ketika foto sesi berakhir. Setelah pamit kepada temanku dan fotografernya, aku menemui mama di parkiran fakultas psikologi—kalau tidak salah—dan aku naik ke mobil, masih dengan wajah tertekuk nan masam. Atmosfir masih terasa tidak enak, sedikit mencekam, bisa kubilang. Dari diamnya mama dan papa, bisa ku tangkap kalau mereka belum berbaikan. Tapi biarlah itu urusan mereka, hak apa yang aku punya untuk mencampuri.
     Aku melamun di mobil, tidak jelas apa yang aku pikirkan, yang aku tahu, pikiranku kosong. Dan tiba2 semua gelap.
     Kata mama, sesampainya aku di rumah, mama memanggil tapi aku seakan tuli. Tanpa menghiraukan siapapun, aku langsung menuju ke dapur. Masih kata mama, aku mengambil pisau daging paling tajam dan besar yang bisa aku temukan, dan kubawa ke ruang tamu. Ketika tanganku tergerak, berniat menghujam nadiku dengan sebilah pisau daging tajam itu, mama menjerit dan merebut pisau dari genggaman eratku yang seakan tak mau melepas. Uwa yang kebetulan sedang di rumah juga ikut membantu, mulutnya sibuk membacakan doa, entah doa apa, mama bilang mama tidak berniat bertanya, toh, uwa lebih berpengalaman dengan hal begini.
     Sesaat kemudian, aku tersadar. Aku bingung, kenapa aku sudah di rumah. Tapi kebingunganku segera tergantung dengan ketakutan. Bulu kuduk ku berdiri semuanya. Secara spontan, ku menoleh ke belakang, mendapati sosok seorang nenek berbaju hitam dengan rambut putih terurai berantakan menutupi wajah dan sebagian lehernya, sisi leher yang today tertutup rambut itu terlihat seperti bekas sayatan besar, mungkin clurit atau parang, aku tidak tahu.
     Dengan segera, uwa dan mama membawaku ke kamarku, menutup pintu dan sembari mulut mereka komat kamit membaca doa. Aku diam, masih kaget. Masih tidak percaya apa yang baru saja aku alami. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat sesosok mahluk lain dengan jelas, walau tak ku tatap wajahnya, untungnya. Aku hanya diam, dengan perasaan campur aduk. Lidahku masih kelu, padahal ingin ikut membaca doa, menjauhkanku darinya. Mama menelpon papa dan beberapa menit kemudian, uwa keluar kamarku dengan hati-hati.
     Kata uwa, uwa dan papa berhasil mengusirnya keluar dari rumah ku yang tak "berpenjaga" ini. Uwa pun bercerita, nenek tersebut adalah roh seorang nenek yang terbunuh, disayat di leher. Dia memang penunggu sana, lanjut uwa. Dia menunggu adanya jasad yang bisa Ia rasuki untuk membalaskan dendam kesumatnya.
     Sampai sekarang pun, aku masih bingung, antara percaya atau tidak. Aku bukanlah orang yang berpengalaman tentang hal mistis, tapi aku dikelilingi orang-orang yang paham, dan kebanyakan malah biasa berurusan dengan dunia lain. Sebelum hari itu, pengalamanku hanya sebatas melihat sekilas, diganggu sedikit, atau paling parah, dicolek. Hal-hal demikian memang sulit masuk di akal, tapi hal-hal tersebut memang betul terjadi.